TENTANG PERMULAAN PERNIKAHAN: CATATAN SYEKH NAWAWI AL-BANTANI

Kamis, 26 Januari 2023 13:52 WIB
  • Share this on:

Abstraksi

Syekh Nawawi Al Bantani banyak membuat komentar tentang kitab pada disiplin ilmu yang berbeda. Diantara hasil komentarnya adalah kitab Tauseh, komentarnya dibidang fikih dari kitab fathu al-Qorib dan Nihayat al-Zain komentarnya atas kitab Qurrat al-Ayin, fuga bidang fikih. Pada keduanya membahas tentang pernikahan. Tetapi komentator mengikuti alur komentarnya sesuai kitab aslinya. Terlihat jelas dari kedua kitab ini, meskipun keduanya membahas tentang pernikahan tetapi tekanannya berbeda. Pada tausyeh dimulai dengan hukum pernikahan poligami; antara orang merdeka yang berpoligami dengan kebolehan sampai empat isteri sedangkan budak berpoligami hanya dibatas sampai dua orang isteri saja. Sedangkan pada Nihayat al-Zain pembahasan diawali dengan pemaparan  hukum melihat berbeda jenis. Kemudian melihat berbeda jenis  untuk menikah yang hukum asalnya dilarang menjadi anjuran. Kesemaan keudanya pada pembahasan kriteria memilih pasangan: beragama, jelas asal usul keluarga, cantik, jauh, gadis, punya potensi keturunan banyak

 

Kata Kunci: Nawawi Nikah, Komentar

 

Abstraction

Syekh Nawawi Al Bantani made many comments about books in different disciplines. Among the results of his comments are the book of Tauseh, his commentary on fiqh from the book Fathu al-Qorib and Nihayat al-Zain, his commentary on the book Qurrat al-Ayin, fuga on fiqh. Both of them discussed marriage. But commentators follow the flow of their comments according to the original book. It is clear from these two books, although both discuss marriage, the emphasis is different. In tausyeh begins with the law of polygamous marriage; between free people who are polygamous with the ability to have up to four wives while polygamous slaves are only limited to two wives. Whereas in Nihayat al-Zain the discussion begins with an explanation of the law looking at different types. Then seeing the different types of marriage, which was originally prohibited by law, is recommended. The similarities between the two in the discussion of the criteria for choosing a partner: religion, clear family origin, beautiful, distant, girl, has the potential for many offspring

 

Keywords: Nawawi, Marriage, Comments

 


 

 

 

I. Pendahulan

Tulisan ini hanya mencatat tentang beberapa permulaan pernikahan yang penulis anggap ada tekanan yang dibuat oleh Nawawi dibanding dengan pengarang lainnya; pengertian nikah, hukum poligami, survei Pasangan dan lainnya. Dan kitab-kitab yang dibaca untuk memahmi pernikahan ini adalah: Nihayat al-Zain. Qut al-habib al-Garib, Kasyifat al-saja, dan sulam al-munajat yang dikonfersikan dengan memahmi kitab-kitab dari pengarang lain, semisal: Fathul Muin yang kitab ini menyarahkan matan yang sama dengan kitab nihayat al-zain dan menariknya adalah pensyarah/komentator  Fathul Muin ini adalah orang  yang sama dengan kitab yang disarahkannya, Qurat  al-aiyn. Juga untuk mengayaan pemahaman dibaca juga Ianat al-tholibin yang merupakan syarah  fathul muiin karya Said Bakar bin Said Muhammad Syatha al-Dimyathi al-Mishriy dan Khasyiyat al-Bajuri yang merupakan syarakh dari fath al- Qarib, seperti Tusyeh karya Nawawi yang merupakan syarah/komentar dari fathu al-Qrib, karya Abu Syuja’. Untuk itu penulis memaca juga mata karya Abu Syuja yang disarah dalam kitab al-Iqna serta perbandingannya fathu al- Wahhab, merupakan komentar dari matan Minhaj al-Thullab. Sedangkan Minhaj al-Thullab adalah ringkasan dari minhaj al-Tholobin.

Kalau dari segi umur syekh Nawawi ini tidak jauh berbeda dengan yang pengarang kitab Ianat al-Tholibin dibanding dengan pengarang kitab-kitab lain yang terkait .

II. Pembahasan

Nawawi dalam mensyarah (berikut akan disebut mengomentari untuk pengertian yang sama) mengikuti kitab asli, kitab matan yang akan ia komentari. Pun pada dua kitab fikih yang ia komentari: fathul korib dan kurrat al-aiyn yang di dalamnya dibahas tentang nikah yang menjadi fokus pada tulisan ini. Yang menarik dari kedua kitab yang berisi kemtar Nawawi al-Bantani ini ternyata dikomentari juga oleh ulama lain. Pertama, fathu al-qarib, karya al-alamah Ibnu Qosim al-Gazi[1]. Kedua Qurat al aiyni karya Zainduddin al-Malaibari India[2]. Fatu al-qarib sendiri berupa komentator dari kitab matan al-taqrib karya Abi suja’[3]. Menariknya adalah, kitab taqrib kayra Abi Sujai dikomentari oleh Ibnu al-Qasin al-Gazi dengan judul fathu al-Qarib kemudian fathu al-Qarib dikomentari oleh  syekh Ibrahin al-Baijuri dengan nama Khasyiyat Al-Syaikh Ibrahin al-Baizuri dan beliaulah mengungkap bahwa Abi Suja’ yang dikenal sebagai hakim dan wazir yang suka bersaudakah kepada fakir miskin sesungguhnya dua orang yang berbeda dengan nama mirip. Yang satu Abu Sujai sebagi hakim pengarang matan al-Taqrib dan wajir orang lain dengan nama Zhahiruddin Muhammad bin Husein yang juga disebut dengan Abu Syuja'. Yang lainnya adalah Qurat al-aiyn bi muhimmat al-din, juga dikomentai oleh pengarangnya sendiri, Zainuddin al_Malaibari dengan judl fathul Muin. Dan kitab Fathul Muin dikomentari oleh al-Allamah Abu Bakar[4], lebih dikenal dengan as-Said al-Bakri dengan judul buku Ianat al-Tholibin. Ada sumber yang menyebutkan bahwa KH Ahmad Dahlan berguru ke Beliau, bahkan beliaulah yang mengganti namanya Darwis menjadi Ahmad Dahlan. Kalau melihat tahun kelahiran, Nawawi bukan saja tidak sejaman dengan pengarang kitab yang ia komentari, seperti fathu al-Qarib yang tahun kelahirannya tercatat 1455 M sedangkan Nawawi tercatat tahun kelahirannya 1815 M, selisih 360 tahunan. Juga dengan pengarang Qurrat al aiyn, Zainuddin yang lahir tahun1532 M. Hampir tiga abad perbedaan masanya. Yang agak dekat / hampr sezaman adalah dengan pengarang kitab ianat al- tholibin yang dicatat kematiannya pada tahun 1849. Terpaut 30 tahun dengan Nawawi.

A. Pengertian Nikah

Nikah secara bahasa artinya al-wathi, bersetubuh atau berarti akad (transaksi). Sering keduanya diidentikan dengan hakiki dan majazi. Hakiki adalah lafaz yang dipakai menurut arti yang sebenarnya sedangkan mazaji[5] adalah kata yang digunakan pada makna yang bukan makna aslinya. Alasan Nawawi mengamini yang menggunkan kata nikah dengan majazi karena pernikahan tetap sah meskipun tidak ada aktifitas wathi dalam pernikahan itu. tetapi pada kitab tausyeh Nawawi mengartikan nikah secara bahasa dengan kumpul ( الضم ), Bersetubuh (  الوطؤ ) dan  akad ( transaksi  ). Beberapa kitab fikih mengartikan nikah seperti itu; anatara akad, wathi atau pada posisi antara makna hakiki atau makna majazi atau sebaliknya, pengertian ini juga didapat oleh penulis, selain yang utama yang menjadi bacaan penulis juga pada kitab lainnya seperti Al-Iqna[6] dan fathu al wahab. Arti nikah akad dan wathi berasal dari al-quran: فانكحوا ماطاب لكم dan hadits nabi حتي تدوقى عسيلته yang meng- taqyid firman Allah حتي تنكح زوجا غيرهsedangkan nikah berdasarkan teminologi adalah akad yang mencakup rukun-rukun dan syarat-syarat nikah sedangkan pada nihayat al-zain  dijelaskannya bahwa nikah adalah akad dari segi hakikat makn dan wathi (bersetubuh) dari segi makna majazi, berbeda dengan fathul muin yang memberik kronologi makna nikah dengan berkempul ketika kata nikah (  تناكجت الاشجار) dipasangkan dengan berbagai pohon yang artinya pohon berkumpul, saling mengeratkan. Begitu pun pada kitab Al- Baijuri menerangkannnya lebih luas tentang makna bahasa dari nikah yang diambil dari para ulama-ulama, termasuk dari al-khatib dan imam Nawawi al-Bagdadi. Pada intinya makna nikah secara bahasa seperti yang disampaikan oleh Nawawi: aqad, wathi atau gabung keduanya. Sedangkan maka terminologi nikah adalah akad yang  mengandung kebolehan bersetubuh dengan menggunakan kata inkah atau tazwij atau dari kedua akar kata tersebut. Nawawi membuat tekanan pada kedua kata atau turunan dari kedua kata, yaitu nikah dan tajwiz dengan kata tidak dengan yang lainnya (  الانكاح و التزويج) barangkali menepis yang membolehkan akad nikah dengan kata hibah, bai’, hadiah dan lainnya, persis sama yang digunakan Zainudin dalam fathu al-muin. Terminologi nikah seperti ini dianggap lebih baik dibandingkan dengan lainnya menurut al-Baijuri. Baijuripun menambahinya bukan saja dengan menggunakan kata nikah dan tajwiz saja tetapi terjemahan dari keduanya.

 Aktivitas akad tersebut dinamakan nikah karena berkumpulnya seseorang  ke yang lain.

Maka dari pengertian ini secara bahasa agar lebih ramah gender dan tidak tersorbudinate salah satu pihak, maka nikah yang di dalam bhasa lain disebut al-dzommu atau al-jamu diartikan dengan pengertian yang lebih praktis yaitu marger, keseimbangan keduanya yang bergabung untuk menyatukan dalam keluarga yang posisi masing-masing seimbang, tidak disebut akuisisi, yang secara praktik salah satu yang kuat mengambil yang lain untuk dikendalikan.[7] Dengan alasan keberimbangan ini ketika sudah terjadi akad maka bagi suami memiliki lembaga talak yang bisa membatalkan akad danisteri diberikan hak fasakh, pengajuan keberatan untuk pembubaran akad dengan alasan keberatan karena realita tidak seseuai dengan kenyataan.

B. Hukum Poligami

Setelah pembicaraan tentang nikah: etimologi dan terminologi kemudian Nawawi meneruskan keterangan sesuai alur kitab yang disarakhkannya (yang dikomentarinya). Pada kitab tausyeh, Nawawi bicara hukum poligami untuk orang yang merdeka, yaitu maksimal empat orang isteri Dengan alasan jumlah emapat ini sepertinya dibangun atas kehendak syarii yang membuat hitungan tiga seperti dalam bab toharah. Seperti malam pertama isteri I, malam kedua isteri II, malam ketiga isteri IV, dan akan balik lagi keisteri pertama, setelah putur tiga akan balik ulang keisteri yang pertama. Sedangkan kitab lain lebih cenderung untukmenggunakan ibarat: jangan sampai dalam kosong dalam empat hari. Nawawi memperingatkan bahwa kalau tidak sesuai putaran itu akan tumbuh masalah seksual diantara mereka[8]. Bagi budak/ sahaya boleh poligami dengan dua orang isteri saja. Kedua isteri boleh keduanya amat, boleh keduanya perempuan merdeka dan boleh silang dengan tidak ada persyaratan seperti persyaratan pada nikah orang yang merdeka. Dan hanya boleh poligami dengan dua isteri saja berbeda denga orang merdeka yang boleh empat dan orang merdeka tidak boleh lebih dari empat. Kemudian batasan untuk orang merdeka tidak boleh menikahi budak kecuali ada dua syarat: Pertama, tidak ada kemampuan untuk memberi mahar kepada wanita merdeka dan kedua, tidak ada wanita bebas yang bisa dinikahi. Nawawi ngomentari tidak ada wanita merdeka (  الحرة ) dengan di tempatnya dengan isteri menuntut yang berlebihan dan dilluar batas. Sedangkan tidak ada kerelaan calon isteri kepadanya adalah status sosial lebih rendah, tidak terima dengan mahar bahkan ditambahipun tetap menolak. Dan takut perbuatan yang fakhish selama tidak ada wanita yang merdeka. Syarat yang kedua, masuk islmnya amat yang dinikahinya, meskipun ia sebagai budak dari said yang kafir. Pembatasan jumlah issteri yang boleh nikahi oleh orang laki-lakikyang merdeka diberikan dasarnya oleh Baijuri dengan hadis Gulam yang masuk islam dengan keadaan memperisteri sembilan orang kemudian disuruh oleh nabi melepaskan lainnya dan tetap dengan empat orang isteri saja.

C. Hukum survei pasangan yang akan dinikahi

Nihayat al-Zain tidak menerangkan hukum poligami orang merdeka atau budak, tetapi meneruskan keterangan pada posisi hukum melihat/mensurvei pasangan kepada pasangan yang akan dinikahinya. Bahakan Nawawi menghukumi dengan sunat, seperti teks yang dikomentarinyai. Pada teks asli  (qurat al-aiyn. Pada Nihayat al-Zain ada satu kalimat (kata)yang harus teliti dibacanya untuk membedakan makna yang tepat. Yaitu kata خطبة, kalau dibaca dengan dommah berarti hutbah, sunah sebelunm sighat ijab. Dan kalau dibaca kasrah huruf kha maka berbunyi khhitbah yang artinya melamar. Dan kesunahan survei pasangan ketika sudah tekad ingin menikahinya maka dilakukan sebelum lamaran. Kesunahan ini dasarnya sabda nabi kepada Mugirah. Keempat ulama al- syafiiyah ini sepakat untuk berpendapat kalau ada kesulitan mensurvei sendiri boleh mengetus seorang perempuan yang bisa dipercaya untuk mensurvaikannya dan memberikan kategori hasil amatannya.

D. Kriteria Calon Isteri

  membuat kretaria isteri masih dihukumi sunnah karena atafnya ke sunnah: pertama, sifat keberagamaan. Pada kategori keberagamaan ini Nawawi membuat kategori adanya sifat adil, bukan saja lepas dari terhindar dari zina. Sedangkan Zainudin menggunakan kata fasik memfokuskan keberadaan sifat adil yang ada pada calon pasangan lebih diutamakan dari pada keberadaan sifat fasik meskipun selamat dari perbuatan zina.   nasab, , cantik, jauh dan gadis. Tetapi dari kategori yang ada akan lebih prioritas yang potensial mempunyai keturunan banyak. Yang menarik ketika mengomentari setiap kategori, Nawawi lebih bebas berekpresi. Seperti komentarnya tentang keberagaman, menurutnya lebih ada sifat adil dari pada sifat baik sedangkan fathul muin yang dikarang oleh pengarang quratul ain lebih membedakan dengan fasik. Lebih baik menikahan wanita yang adil dari pada fasik meskipun fasiknya bukan karena zina.[9] Dasar yang digunakan adalah hadits nabi: ambilah yang ada agamanya. Bagaimana dengan menikahi wanita yang berbeda agama, dari ahli kitab misalnya. Ada agamanya juga, dan kata diniyah menggunakan kata nakirah, berarti tidak ditentukan. Tetapi pengarang ianat al-tholibin menyindirnya secara halus untuk mencari yang terbaik; baik dari sisi agama dan ilmu agar terhindar dari fitnah. Bahkan makruh menikahi anak pungut yang tidak jelas keturunannya Kedua, jelas asal-usulnya. Nawawi membuat catatan asal-usul untuk asal-usulnya sampai ke para ulama dan orang-orang soleh dan Zainduin menghukumi makruh menikah dengan anak hasil zina dan anak orang fasik. Ketiga, cantik, sesuai kultur yang berlaku. Keempat, jauh secara nasab bukan anak paman atau bibi. Kelima, gadis, baligh, cukup  akal, baik budi pekertinya dan tidak menuntut mahar yang besar. Keenam, potensial punya keturunan banyak. Kalau gadis bisa dilihat sanak keluarganya untuk mengukur potensi punya keturunan. Dan yang potensi memiliki keturunan banyak ditandai oleh Nawawi diutamakan dari kategori lainnya. Diakhir uraian tentang kategori memilih pasangan apabila berbenturan kategori satu dengan yang lain. Maka menurutnya yang diutamakan adalah yang beragama; cantik atau tidak, urutan berikutnya akal, kemudian budi pekerti, nasab, gadis dan banyak keturunan.

 

III. Kesimpulan

A. Nikah bermakna akad secara majaz atau wathi dalam pengertian hakiki atau sebaliknya akad bermakna hakiki dan wath bermakana majzaz atau juga digunakan dua-duanya.  Sedangkan makna terminologi berarti akad yang syarat-syarat dan runkunnya terpenuhi atau akad yang mengandung kebolehan wathi

B. Poligami untuk orang yang merdeka hanya bisa sampai empat isteri dedangkan untuk budak hanya boleh dua orang isteri saya. Keberadaan praktik progami dengan jumlah terbatas diakui keberadaannya hanya saja harus diikuti dengan keadilan nafakah, keadilan gilir dan keadilan tempat tinggal dan keadlan pakain

C. Kriteria memilih jodoh

Pada pencaharian suami untuk mendapatkan isteri maka kreterianya adalah: keberagamaannya, asal-usul keluarga, orang tua, cantik, juhgadis dan potensi memiliki keturunan. Kreteria inipun bisa digunaka untuk seorang perempuan menerima pinangan seorang laki-laki dan kreteria ini agar dikemudian hari mendapatkan kehidupan yang dicita-citakan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR BACAAN

A. Buku

Nawawi, al-Jawawi al-Bantani, Nihayat al-Zain fi irsyad al-Mubtadiin,  Daru al-Ihya al-Kutub al_Arabiyah

_______________________. Qut Al-Habib al_Garib, Al Haramain,2005

Zainudin, alSyaikh al-Allamah, Fathu al-Muin, Gerbang Andalus

Abu Bakar, Ianat al-Tholibin ala hilli alfadz fathu al-Muin, Maktabah Salamah, juz III

Ibrahim al_baijuri, Al-Syekh, Hasyiyah al-Syaikh Ibrahim al-Bajuri, Tobaah Jadididah, Jilid II

 

B. Medsos

https://sanadmedia.com/post/beberapa-kesalahan-penulisan-biografi-al-qadhi-abu-syuja-penulis-matan-taqrib

(https://www.galerikitabkuning.com/2021/03/biografi-syekh-zainuddin-al-malibari.html

(https://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/)

https://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/)

https://lp2m.uma.ac.id/2022/11/26/perbedaan-merger-dan-akuisisi-yang-harus-andaketahui/#:~:text=Berdasarkan%20laman%20Investopedia%2C%20merger)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Biodata Penulis

 

Nama              :H. Fatawi

Tmpt./Tgl Lahir: Tangerang, 07 Nopember 1967

Pendidikan:     MI Al-Khairiyah Kandang Gede Kresek

                        MTs. Al_khairiyaah Kandang Gede, Kresek

                        Madrasah Aliyah Darunnajah Jakarta

                        SI Syariaah STIA Darunnajah Jakarta, sekarang Universitas Darunnajah

                        S2 STIE Triandra Jakarta

Tugas              : 2013 – 2016 Kepala KUA Kec. Gunungkaler, Kab. Tangerang, Banten

                        : 2016 – 2019 Kepala KUA Kec. Kemiri, Kab. Tangerang, Banten

                        : 2019-1021 Kepala KUA Kec. Sindang jaya, Kab. Tangerang

                        : 2021 – Sekarang  Kepala KUA Kec. Kresek, Kab. Tangerang, Banten

 

[1] Muhammad bin Qasim bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazi al-Qahiri as-Syafi'i.  Ia lebih dikenal dengan "Ibn al-Gharabili", lahir di bulan Rajab 859 H/1455 M di Gaza, Palestina dan di kota inilah beliau memulai kehidupan. Tepatnya pada hari Rabu, 6 Muharram 918 H/1512 M. menghafalkan al-Qur'an, nadzom "as-Syatibiyyah" dalam ilmu qiraat, menghafal kitab "Minhaj at-Thalibin" karya imam Nawawi, "Alfiyah al-Hadist" karya al-Iraqi, dan sebagian besar kitab "Jam' al-Jawami'" karya imam Tajuddin as-Subki dalam Usul Fiqih. Sedangkan Syekh Nawawi Al Bantani dilahirkan tahun 1815 M

[2] Syeikh Zainuddin Ahmad bin Qadhi Muhammad al-Ghazali bin Syeikh Zainuddin al-Makhdum Kabir bin Syeikh Qadhi Ali bin Syeikh Qadhi Ahmad al-Ma’bari Asy-Syafii al-Asy’ari al-Funnani al-Malaibari. Beliau dilahirkan di Chombal dalam wilayah Malaibar atau yang sekarang dikenal dengan Kerala, negara bagian bagian barat daya pada tahun 938 H/1532 M. (https://www.galerikitabkuning.com/2021/03/biografi-syekh-zainuddin-al-malibari.html)

[3] “Abu Syuja' adalah seorang Imam yang ahli ibadah nan shalih. Terkenal di berbagai penjuru sebagai Qadhi (hakim) dan Wazir (menteri). Beliau memiliki harta yang cukup banyak, sehingga sering berbagi sedekah dan hadiah. Bahkan terkadang beliau pernah membagi 120.000 dinar. Kebaikan beliau begitu tersebut, mencakup berbagai lapisan masyarakat. Meskipun kaya, beliau memilih untuk hidup sederhana dan zuhud. (https://sanadmedia.com/post/beberapa-kesalahan-penulisan-biografi-al-qadhi-abu-syuja-penulis-matan-taqrib)

[4]Sayyid Abu Bakar Ibn Sayyid Mahmud Al-Husaini Al-Makki, nasab beliau sampai kepada Rasulullah SAW . Sayyid Abu Bakar Ibn Sayyid Mahmud Al-Husaini Al-Makki, nasab beliau sampai kepada Rasulullah SAW . Sayyid Al-Bakri lahir pada tahun 1266 H atau 1849 Masehi, dan wafat pada tahun 1310 Hijriyah atau bertepatan dengan 1892 Masehi.

[5] Definisi Majaz dan Hakiki

المجاز هو نقل الكلام من الوضع الأول إلى الوضع الثاني للقرينة مع وجود العلقة

“Majaz adalah berpindahnya makna perkataan dari makna pertama menjadi makna kedua, karena adanya qarinah dan adanya ‘alaqah”

Dari definisi ini, maka dapat kita simpulkan bahwa pada majaz terdapat 4 rukun, yaitu :

1. Al Wadh’u Al Awwalu (makna pertama)

2. Al Wadh’u Ats Tsani (makna kedua)

3. Al Qorinah (sebab yang menghalangi makna pertama dan mengharuskan dimaknai dengan makna kedua)

4. Al ‘Alaqah (hubungan antara makna pertama dan makna kedua)

Semisal kita katakan : “Aku melihat singa naik kuda, sambil menghunuskan pedang”

Maka pada kalimat tersebut, dapat kita katakan rukun-rukun majaz :

– Makna pertama : makna singa, sebagai makna salah satu jenis hewan buas.

– Makna kedua : makna lelaki yang pemberani.

– Al Qorinah : akal sehat mengatakan tidaklah mungkin ada singa yang bisa mengendarai kuda sambil menghunus pedang.

– Al ‘Alaqah : hubungan antara singa dan laki-laki yang pemberani, adalah kekuatan dan keberanian.

Maka berdasarkan hal ini, tidak bisa kita katakan suatu majaz yang tidak memiliki ‘alaqah. Semisal kita katakan : “Aku makan meja di waktu pagi” (yang dimaksud adalah makan roti). Tidak ada hubungan antara meja dan roti, maka kalimat tersebut tidak bisa kita pakai sebagai majaz. Sedangkan makna hakiki adalah   

هي كل لفظ اريد به ماوضع له في الاصل شيء معلوم    

“Setiap lafaz yang digunakan untuk menunjukkan arti yang semestinya bagi sesuatu yang sudah maklum (lumrah) untuk dipahami

 suatu lafadz yang digunakan pada makna aslinya. Dijelaskan oleh para ulama ushul bahwa makna haqiqi ada tiga macam :

1. Haqiqi secara bahasa (lughoh), yaitu kata yang digunakan dalam makna aslinya dari sudut pandang bahasa. Semisal kata sholat/as sholatu (الصلاة) berarti doa/ad du’aau (الدعاء).

2. Haqiqi secara syari’at, yaitu suatu lafadz yang digunakan pada makna sebenarnya dari tinjauan syar’iat. Semisal kata sholat/as sholatu (الصلاة), berarti gerakan dan ucapan yang tertentu diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala, demikian makna sholat secara syariat.

3. Haqiqi secara adat-istiadat (‘urfiyah), adalah kata yang digunakan pada makna yanga sebenarnya dari tinjauan ‘urfiyah. Semisal kata al waladu (الولد) yang secara bahasa artinya anak kecil baik laki-laki maupun perempuan, tetapi makna al waladu secara ‘urfiyah adalah anak kecil laki-laki. (https://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/)

[6] La-Iqna fi halli alfadz Abi Syujai  adalah karya Syekh Muhamad Al- Syarbin. Matan Iqna adalah karay Abu Syuzai seperti juga al- Taqrib sedangkan Fathu al wahab adalah syarakh dari fathu al-thullab, ringkasan dari minhaj al-Tholibin kemudian di syarakh pada kitab khasyiyat al-Bujairimi dan khsyiyat al-Zamal

[7] Merger adalah penggabungan yang bisa terjadi di dua perusahaan dengan skala yang sama, beberapa diantaranya mungkin saja berbeda skala. Tapi, kemungkinan besar akuisisi terjadi pada perusahaan yang skalanya lebih besar membeli lebih dari setengah saham dari perusahaan lain yang lebih kecil. Menurut laman Hoeg Law, akuisisi bisa juga terjadi tanpa persetujuan  bisnis yang diaukuisisi (https://lp2m.uma.ac.id/2022/11/26/perbedaan-merger-dan-akuisisi-yang-harus-anda-ketahui/#:~:text=Berdasarkan%20laman%20Investopedia%2C%20merger)

[8] Tausyeh, hal. 190

[9] Zainudin Malaibari, Fathul Muin, hal 120