Penguatan Keluarga Sebagai Pencegahan Kenakalan Remaja

Rabu, 21 Desember 2022 08:33 WIB
  • Share this on:

  1. Pendahuluan

Kecanduan  game online, bolos sekolah, pornografi, minuman keras, obat-obatan dan tawuran adalah serangkaian masalah serius yang sedang dihadapi para remaja Indonesia saat ini. Pada tahun 2018 saja KPAI menerima laporan sebanyak 4.885 kasus. Kasus anak berhadapan dengan hukum menduduki urutan pertama, yakni 1.434 kasus, disusul kasus terkait keluarga dan pengasuhan anak sebanyak 857 kasus (www.republika.co.id). Bila tidak segera kita tangani, masalah ini akan menjadi bola salju yang semakin lama semakin besar. Implikasi dari bola salju tersebut adalah terbentuknya generasi konsumtif yang brutal dan hanya menuruti hawa nafsu belaka.

Padahal remaja merupakan generasi harapan bangsa dan tonggak dari perjuangan agama. Sebagaimana ditegaskan dalam UU no. 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU no. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa anak sebagai tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis, ciri dan sifat khusus sehingga wajib dilindungi. Merekalah yang akan melanjutkan estafeta perjuangan para pemimpin saat ini. Karena mereka memiliki semangat yang sulit dipatahkan. Bahkan, proklamator kita berkata “Berikan aku 10 orang tua, akan ku cabut semeru dari akarnya, berikan aku 10 pemuda, akan ku goncangkan dunia.”

Dalam Al-Quran, remaja sering digambarkan sebagai orang yang berani menentang kedzaliman. Seperti Nabi Ibrahim remaja, yang berani menantang raja Namrudz (Al-Anbiya’[21] : 51-69 ), juga pemuda ashabul kahfi yang berani menentang raja Diqyanus yang dzalim (Al-Kahfi [18] 10-14). Sayangnya, kondisi remaja masa kini tak lagi mencontoh Ibrahim, ataupun ashabul kahfi. Banyak dari remaja masa kini justru jatuh dan terjebak dalam dunia fantasi yang membawa mereka pada kesenangan sesaat.

Dalam pertumbuhan dan perkembangan remaja, keluarga merupakan salah satu faktor yang paling penting. Keluargalah yang akan menentukan dimana seorang remaja akan tinggal, sekolah dan bergaul. Tapi sayangnya, banyak orang tua yang kurang sadar akan hal ini, sehingga mereka membiarkan anak-anaknya tumbuh tanpa pengawasan dan berkembang ke arah yang tidak sesuai. hal ini terbukti dari  tingginya angka perceraian di negara kita. Pada tahun 2015, tercatat ada 6.558.840. rumah tangga di Indonesia, namun pada tahun yang sama juga telah terjadi perceraian sebanyak 347.256 kali (www.bps.go.id).

Melihat kondisi ini, maka penulis tergelitik untuk membahas peran keluarga dalam mendidik anak remaja. Dalam makalah ini, akan diulas beberapa pertanyaan, diantaranya: Bagaimana realita kondisi remaja dan keluarganya di Indonesia? Seperti apa tuntunan Al-Quran dalam mendidik remaja? Bagaimana memaksimalkan peran keluarga dalam mencegah kenakalan remaja? Dengan menjawab tiga pertanyaan tersebut, penulis berharap dapat membuka persepsi banyak orang untuk kembali membenahi keluarga kita kepada tujuan keluarga yang sebenarnya, yaitu membentuk generasi yang siap menjadi kader terbaik bangsa.

  1. Kenakalan Remaja dan Keluarga

Remaja adalah masa dimana seseorang dituntut untuk menemukan jati dirinya. Al-Quran menyebut remaja sebagai Fataa atau Fityan dalam bentuk jama’. Diantaranya pada Q.s. Al-Kahfi ayat 13 – 14.

نَّحۡنُ نَقُصُّ عَلَيۡكَ نَبَأَهُم بِٱلۡحَقِّۚ إِنَّهُمۡ فِتۡيَةٌ ءَامَنُواْ بِرَبِّهِمۡ وَزِدۡنَٰهُمۡ هُدٗى ١٣ وَرَبَطۡنَا عَلَىٰ قُلُوبِهِمۡ إِذۡ قَامُواْ فَقَالُواْ رَبُّنَا رَبُّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ لَن نَّدۡعُوَاْ مِن دُونِهِۦٓ إِلَٰهٗاۖ لَّقَدۡ قُلۡنَآ إِذٗا شَطَطًا ١٤

Yang artinya : Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk 14. Dan Kami meneguhkan hati mereka diwaktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, "Tuhan kami adalah Tuhan seluruh langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran" (Q.s. Al-Kahfi [18]: 13-14).

Menurut Quraish Shihab dalam tafsir al-Mishbah jilid 7, kata Fityah adalah bentuk jamak yang menunjukan sedikit. Tunggalnya adalah Fataa yaitu remaja. Kata ini bukan saja mengisyaratkan kelemahan mereka darisegi fisik dan jumlah yang sedikit, tetapi juga pada usia yang belum berpengalaman (2017 :250). Masa remaja mulai kira-kira umur 12 tahun bagi anak gadis dan umur 14 tahun bagi anak laki-laki dan biasanya berlangsung 6 – 9 tahun (Abudin, 2001: 272). Maka dapat kita simpulkan bahwa masa remaja berlangsung antara usia 12 atau 14 tahun sampai kisaran usia 18 atau 21 tahun.

Remaja memiliki tempat dan porsi tersendiri baik dalam keluarga maupun masyarakat. Menurut Abuddin Nata, peran dan fungsi yang dapat dilakukan oleh para remaja termasuk pemuda tersebut dinilai sangat logis, mengingat pada diri mereka terdapat seperangkat etos yang menggerakanya untuk menjadi kelompok masyarakat yang paling dinamis (2001 :270). Tidak berlebihan rasanya bila kita sebut pemuda sebagai darah dari masyarakat, sebab merekalah yang bergerak menyalurkan energi ke seluruh anggota tubuh masyarakat, dari jantung masyarakat, ke otak pemerintahan lalu ke hati para ulama dan agamawan.

Maka tak dapat dipungkiri lagi bahwa remaja merupakan masa tumbuh yang bukan hanya menentukan masa depan seseorang, akan tetapi juga masa depan suatu bangsa. Karena yang akan memegang kemudi dan tali layar bangsa kita adalah mereka yang saat ini berusia remaja. Akan tetapi remaja juga manusia biasa yang masih rentan terjatuh. Keberanian dan etos kerjanya hanya terpaut sekat tipis dengan kecerobohan. Rasa ingin tahunya hanya berjarak sejengkal dengan jurang fantasi yang melenakan. Karena sekalipun telah memasuki usia remaja. Ia memang sudah berakal, namun masih belum terbina dengan sempurna. Akibatnya, ia masih belum mampu memahami berbagai aspek yang berkenaan dengan jatidirinya dan kehidupanya di masa datang (Ali, 2002: 274).

Naasnya, dimasa masa genting ini, justru banyak remaja Indonesia yang tersandung narkoba, terbawa budaya tawuran hingga terseret arus pergaulan bebas. Masa muda yang harusnya diisi dengan berbagai kegiatan positif nan produktif justru dialihkan keraah negataif destruktif yang merusak, membahayakan dan hanya memberi kesenangan sesaat oleh sebagian remaja di negri kita. Dalam kasus narkoba misalnya, pada tahun 2018, Survei dari BNN dan  LIPI menunjukkan 2,3 juta pelajar atau mahasiswa di Indonesia pernah mengonsumsi narkoba. Angka itu setara dengan 3,2 persen dari populasi kelompok tersebut (cnnindonesia.com).

Lain narkoba, lain pula tawuran pelajar. Komisioner Bidang Pendidikan KPAI Retno Listiyarti mengatakan, pada tahun lalu (2017), angka kasus tawuran hanya 12,9 persen, tapi pada tahun (2018) menjadi 14 persen (www.tempo.co). Output dari maraknya tawuran antar pelajar ini dapat kita saksikan pada demonstrasi besar-besaran tanggal 24-25 september tahun kemarin, dimana para pelajar STM yang notabene masih berumur 15 – 17 tahun menunjukan kepiawaianya dalam bentrokan masa dengan polisi di depan gedung DPR MPR. Dari serangkaian fakta diatas, timbullah beberapa pertanyaan. Akan mengarah kemana bangsa kita nanti bila remaja-remaja nya jatuh kedalam jurang tawuran dan narkoba? siapakah yang harus disalahkan dan bertanggungjawab bila sudah begini?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas tentu tidak semudah membalikan kedua telapak tangan. Ada banyak faktor yang memicu hal ini dan memengaruhi seorang remaja untuk masuk kedalam dunia kenakalanya baik faktor eksternal maupun faktor internal. Diantara sekian banyak faktor itu, keluarga merupakan faktor utama yang menentukan arah kembang seorang remaja.

Keluarga adalah unit terkecil dari sebuah bangsa, bangsa yang besar dibangun dari keluarga-keluarga yang berjiwa besar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, keluarga berarti ibu dan bapak beserta anak-anaknya, seisi rumah atau orang seisi rumah yang menjadi tanggungan (2005: 536). Kata keluarga berasal dari bahasa sansekerta yaitu kulawarga yang berarti anggota. 

Keluarga adalah miniatur masyarakat. Salah satu tujuan dari dibentuknya sebuah keluarga adalah menciptakan generasi yang baik dan mampu membangun masyarakat. Karena bagaimanapun, masyarakat merupakan produk keluarga. Semua orang yang mengabdi pada suatu bangsa, apakah dia presiden, menteri atau seorang anggota parlemen, mempunyai akar di dalam rumah dan keluarga. Rumah dan mereka yang mengaturnya adalah faktor utama dalam pengembangan dan pendidikan mereka. (Husain, 2004:29)

Dalam Al-Quran, ada beberapa lafadz yang mempresentasikan makna keluarga, namun lafadz yang paling sering disebut adalah lafadz Ahlu atau Aalu. Seperti pada Q.s. Ali Imran [3]: 33 dan Q.s. At-Tahrim [66]: 6. Dalam kamus lisanul arab jilid 11 dikatakan ahlur rajuli ‘Asyiratuhu wa dzawu qurbaahu.  Keluarga seorang laki laki adalah Asyirahnya dan kerabatnya (Jamaludin, 2009: 33).

Untuk membentuk keluarga yang baik diperlukan ilmu dan komitmen yang tinggi. Keluarga merupakan manifestasi  dari penciptaan makhluk secara berpasang-pasangan. Tuhan menjadikan manusia berkeluarga agar ia tak kesepian dan mampu membangun generasi yang baik sebagai investasi masa depannya, juga sebagai penolongnya di hari akhir nanti.

Keluarga yang baik, yang didirikan diatas pondasi ketakwaan dan budi pekerti, tentunya akan melahirkan generasi yang baik pula. Dari sini, keluarga mempunyai peranan yang sangat besar dalam pembangunan masyarakat. Karena keluarga merupakan batu pondasi bangunan masyarakat dan tempat pembinaan pertama untuk mencetak dan mempersiapkan personil-personilnya (Sulistyowati, 2014: 33).

Sayangnya banyak dari orangtua di Indonesia kurang sadar akan peranan dan fungsi keluarga yang sebenarnya ini. Mereka lebih sibuk dengan pekerjaannya hingga lupa bahwa ada anak yang harus ia perhatikan tumbuh kembangnya dengan seksama. Pada beberapa kasus, anak dititipkan kepada pengasuh sehingga sangat jarang bertemu dengan orangtua, hingga si pengasuh tersebut lebih mengenal karakter dan tabiat sang anak daripada orangtuanya sendiri.

  1. Keluarga dan Pendidikan Remaja dalam Al-Quran

Banyak ayat-ayat Al-Quran yang memaparkan contoh-contoh menarik dan utama tentang pemuda. Baik dalam kejujuran, kesungguhan, maupun dampak keimanannya dalam kehidupan dan masyarakat (Said Hawa, 2007: 21) Al-Quran mencontohkan remaja remaja yang baik maupun yang salah pergaulan kepada kita melalui kisah-kisahnya seperti dua putra nabi Adam yang berselisih, putra nabi Nuh yang lebih memilih berenang untuk menyelamatkan diri, nabi Ibrahim yang sudah berani menghancurkan berhala saat masih muda, juga nabi Ismail yang dengan lapang dada menerima keputusan ayahnya untuk disembelih, hingga Ashabul Kahfi yang berani menentang kedzaliman penguasa di negri mereka.

Untuk membentuk seorang remaja hingga bisa beriman seperti Habil, berani seperti nabi Ibrahim, tawakkal seperti nabi ismail, hingga seperti ashabulkahfi, tentu dibutuhkan pendidikan karakter yang kuat dari lingkungan dan keluarganya. Karena keluarga merupakan madrasah pertama bagi seorang anak. Peran keluarga dalam pembentukan generasi yang baik sangatlah vital, walaupun lingkungan pertemanan dan sekolah akan memengaruhi tumbuh kembang sang anak, tapi akhirnya, keluarga pulalah yang akan menentukan dimana anak tinggal dan bersekolah.

Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam pendidikan, baik dalam lingkungan masyarakat islam maupun non-islam. Karena keluarga merupakan tempat pertumbuhan anak yang pertama, dimana dia mendapatkan pengaruh dari anggota-anggotanya pada masa yang amat penting dan paling kritis dalam pendidikan anak (Sulistyowati, 2014: 33).

Bila orangtua abai terhadap tanggungjawab mempersiapkan keder terbaik untu pembangunan masyarakat ini, dikhawatirkan bangsa kita akan menjadi bangsa yang lemah dan terpuruk sebagaimana warning yang sudah diberikan Allah swt. Dalam surat An-Nisa ayat 9 :

وَلۡيَخۡشَ ٱلَّذِينَ لَوۡ تَرَكُواْ مِنۡ خَلۡفِهِمۡ ذُرِّيَّةٗ ضِعَٰفًا خَافُواْ عَلَيۡهِمۡ فَلۡيَتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡيَقُولُواْ قَوۡلٗا سَدِيدًا ٩

yang artinya : Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar

Ayat ini merupakan tanbih bagi kita agar tidak meninggalkan generasi dibelakang kita (Sesudah kita) dalam keadaan lemah (Dzurruyatan Dhiaafaa), baik lemah iman maupun lemah ilmunya. Negasi dari hal ini sudah tentu kita harus mempersiapkan generasi kita agar menjadi generasi yang kuat iman dan ilmunya, sepertinabi zakariya mengharapkan keturunan yang beik kepada Allah SWT. Dalam doanya yang diabadikan Allah pada Q.s. Ali Imran [3] ayat 33.

 

 

 هُنَالِكَ دَعَا زَكَرِيَّا رَبَّهُۥۖ قَالَ رَبِّ هَبۡ لِي مِن لَّدُنكَ ذُرِّيَّةٗ طَيِّبَةًۖ إِنَّكَ سَمِيعُ ٱلدُّعَآءِ ٣٨

Yang Artinya : Di sanalah Zakariya mendoa kepada Tuhannya seraya berkata: "Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa"

            Mendidik remaja tidaklah sama dengan mendidik anak kecil. Karena remaja merupakan usia dimana seorang anak sudah mulai mengenal dunia luar tapi belum sepenuhnya dapat membawa dan menempatkan dirinya kea rah yang baik.

  1. Memaksimalkan Peran Keluarga dalam Mendidik dan Menjaga Anak Remaja

Ada beberapa hal yang harus kita perhatikan dan praktikan dalam mendidik anak remaja. Pertama, dengan Memberi  teladan, karena Anak adalah anugrah dari Alllah SWT. Ia merupakan manifestasi, estimasi, dan investasi setiap orang tua. Setiap orang tua dapat membentuk anaknya seseuia dengan apa yang dia inginkan karena pada hakikatnya, setiap anak dilahirkan dalam kedaan bersih dan tidak mengetahui apa-apa. Sebagaimana Allah SWT Berfirman di dalam surat An-Nahl ayat 78.

وَٱللَّهُ أَخۡرَجَكُم مِّنۢ بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ شَيۡ‍ٔٗا وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَٰرَ وَٱلۡأَفۡ‍ِٔدَةَ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ٧٨

Yang Artinya : Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.

Dari ayat diatas dapat kita pahami bahwasanya setiap anak dilahirkan dalam keadaan tidak tahu apa apa, mereka pun tentu belum mengetahui siapa ayahnya, siapa ibunya, apa itu shalat apa itu zakat dan juga pastinya belum mengetahui apa itu tawuran, bagaimana sensasi memakai narkoba, ataupun balapan liar. Maka keluarganya lah yang berperan mengisi ketidaktahuan sang anak tersebut dengan ilmu dan iman melalui  keteladanan.

Dalam perkembanganya, sang anak akan menginterpretasi dan mencoba mengikuti setiap hal yang masuk ke alam fikirannya melalui pendengaran (As-Sam’a)  penglihatan (Bashara) dan yang dirasakan oleh hatinya (Fuaada). Maka setiap gerak gerik ayah, ibu, kaka dan apapun yang ada di lingkungan seseorang akan terinstal ke dalam dirinya.

Kedua, dengan menjaga keluarga dari maksiat dan dosa. Hal ini senada dengan firman Allah dalam Q.s. At-Tahrim [66]: 6.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَيۡهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٞ شِدَادٞ لَّا يَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ ٦

Yang artinya : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

Menurut Quraish Shihab, dalam tafsir Al-Mishbah, ayat diatas menggambarkan bahwa dakwah dan pendidikan harus bermula dari rumah. Ayat diatas, walau secara redaksional tertuju kepada kaum pria (ayah), itu bukan berarti hanya tertuju kepada mereka. Ayat ini tertuju kepada perempuan dan laki-laki (ibu dan ayah) sebagaimana ayat yang serupa yang juga tertuju kepada lelaki dan perempuan. Ini berarti kedua orang tua bertanggungjawab terhadap anak-anaknya dan juga pasangan masing-masing sebagaimana masing-masing bertanggungjawab atas kelakuannya (2017: 177-178).

Lebih jauh lagi, Imam Al-Qusyairi dalam tafsir lathaiful Isyarat menjelaskan bahwa ayat tersebut menunjukan atas kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar dalam agama kepada kerabat. Dan dikatakan : perlihatkanlah ibadah dari diri kalian untuk mengajarkan mereka (anggota keluarga) dan supaya mereka beribadah seperti beribadahnya kamu, juga tunjukanlah mereka atas sunnah dan jamaah, ajarkanlah mereka akhlak yang baik dan perintahkanlah mereka untuk menerima musibah (2007: 334). 

Penjabaran diatas menunjukan bahwa menjaga keluarga dari api neraka pada ayat tersebut merupakan perintah kita untuk menjaga keluarga dari masiat dan dosa, serta menuntun mereka untuk selalu taat beribadah dan berakhlakul karimah. Meskipun terlihat sederhana, namun penerapan aspek ini tidak semudah yang kita bayangkan. Pemerintah harus turut andil memastikan setiap orangtua, ataupun mereka pasangan calon pengantin yang mendaftar ke Kantor Urusan Agama dan menyatakan diri siap menjadi orang tua selayaknya dipastikan fit and proper-nya  dalam menjaga keluarganya kelak dari perbuatan-perbuatan tercela.

Ketiga, Memberi anak nafkah lahir dan batin yang baik. Memberi nafkah kepada anak sudah tentu merupakan kewajiban orang tua, terutama ayah. Setiap orang tua tentu akan berusaha memberikan nafkah untuk anaknya, baik nafkah lahir maupun batin. Tapi sayangnya, banyak orang dimasa kini lebih mementingkan nafkah lahir daripada nafkah batin untuk keluarganya, padahal kedua dimensi ini haruslah seimbang untuk menjaga tumbuh kembang seorang anak. pun dalam memberikan nafkan lahiriyah, seringkali orang tua tidak memerhatikan kualitas nafkah yang diberikanya itu, apakah halal, haram atau syubhat.

Nafkah lahir haruslah dicari dari sumber yang baik sebagaimana Al-Quran Mengisyaratkan kita dalam Q.s. Al-Baqarah ayat 168. Nafkah lahir berupa sandang, papan, dan pangan yang didapat dari cara yang tidak baik akan mempengaruhi kepribadian dan tumbuh kembang seorang anak. Dalam hal ini, pemerintah harus memastikan setiap kepala keluarga memiliki pekerjaan tetap, sehingga setiap remaja memiliki asupan rezeki yang halal. Kelanjutanya adalah upaya mengentaskan pengangguran dengan program yang sudah dicanangkan maupun gagasan baru yang layak untuk diterapkan.

Selain daripada nafkah lahir, orang tua juga harus memberikan nafkah batin kepada anaknya. Sebagaimana kita tahu bahwa kebutuhan afeksi merupakan salah satu kebutuhan primer manusia. Dewasa ini, banyak orangtua yang abai akan hal ini dan lebih memilih untuk menyerahkan pengawasan anaknya kepada pembantu rumah tangga. Maka secara tidak langsung, orangtua tersebut telah menjauhkan anaknya sendiri dari  kasih sayangnya. Anak yang dididik tanpa kasih sayang, akan mengexplorasi dunia melalui lingkungan yang mempengaruhinya. Bila lingkunganya buruk, maka ia akan terbentuk menjadi pribadi yang buruk, dan ini sangat bahaya.

  1. Penutup
  • Kesimpulan

Remaja adalah harapan bangsa. Remaja adalah harapan agama. Didalam jiwa-jiwa remaja terdapat semangat menyala yang tak mudah dipadamkan. Semangat ini akan menjadi api pembakar pergerakan kemajuan bangsa. Suatu saat nanti, bangsa kita akan dipimpin oleh mereka yang saat ini kita sebut sebagai remaja, begitupun selanjutnya di masa yang akan datang. Karena itu kita harus menjaga remaja-remaja kita dari gempuran budaya yang merusak seperti narkoba, tawuran dan pergaulan bebas.

Keluarga, sebagai sekolah pertama bagi seorang anak harus berperan layaknya tameng yang melindungi anak remaja dari berbagai hal negatif yang bisa merusaknya. Dengan menjaga keluarga dari maksiat dan dosa, selalu mengajak dan mencontohkan anak-anak untuk beribadah, dan memberi nafkah lahir dan batin yang baik, saya yakin keluarga Indonesia mampu menjadi pondasi masyarakat yang kokoh dan menumbuhkan generasi-generasi hebat untuk mewujudkan Indonesia emas.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Al-Quran 3 Bahasa. Depok: Al-Huda, Kelompok Gema Insani, 2012.

Ansarian. Husain, Struktur Keluarga Islam. Jakarta: Pustaka Intermasa, 2000.

Badan Pusat Statistik. Statistik Kependudukan Indonesia 2018. Jakarta:

BPS, 2018.

Khairu, Sulistyowati, Kesalahan Fatal Orang Tua dalam Mendidik Anak Muslim. Jakarta: DAN Idea, 2014.

Natta, Abuddin. Paradigma Pendidikan Islam. Jakarta: Grasindo, 2001.

Qaimi Dr. Ali, Menggapai Langit Masa Depan Anak. Bogor: Cahaya, 2002.

Said Hwa Dr. Muhammad. Mmembangun Generasi Cerdas & Berkualitas. Jakarta: Gadika Pustaka, 2007.

Shihab M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah: pesan, kesan dan keserasian Al-Quran. Volume 2, Jakarta: Lentera Hati, 2017.

Shihab M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah: pesan, kesan dan keserasian Al-Quran. Volume 6, Jakarta: Lentera Hati, 2017.

Shihab M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah: pesan, kesan dan keserasian Al-Quran. Volume 7. Jakarta: Lentera Hati, 2017.

Shihab M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah: pesan, kesan dan keserasian Al-Quran. Volume 14, Jakarta: Lentera Hati, 2017.